Sabtu, 28 Juni 2008

Pesiar ke Enam Abad Silam di Melaka

MENJELANG pukul 13.30 waktu Malaysia Selasa (24/02/2004), kapal ferry Indomal Express-5 yang membawa kami dari Pelabuhan Dumai, Riau, mendadak mematikan mesinnya. Kami jadi terapung-apung pada jarak sekitar satu mil dari garis pantai Pelabuhan Melaka.
Beberapa anggota rombongan kami dari Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata Semarang yang berencana melakukan tur studi di Kota Melaka dan Kuala Lumpur sebelum ke Singapura sempat bersipandang dan bertanya-tanya mengapa kapal mendadak berhenti sebelum dermaga. Tapi penumpang lain yang berasal dari Dumai -sebagian besar TKI- hanya tersenyum. ''Sudah biasa begini. Kalau airnya tak pasang, kapal tak bisa merapat ke dermaga. Nanti ada kapal kecil yang mengangkut kita ke dermaga,'' kata seseorang dari mereka.
Sembari menunggu kapal penjemput, bersama beberapa kawan serombongan iseng saya bergerak ke pintu samping kapal. Pada jarak sekitar dua mil di sisi kanan kapal, beberapa kapal mewah terapung-apung. Ombak Selat Melaka yang kecil di sekitar situ tak mampu menggoyang kapal-kapal besar.
''Itu kapal untuk judi. Bisa berhari-hari hanya terapung seperti itu,'' ujar Hotmauli, salah seorang dosen PMLP. Dia yang telah beberapa kali pergi ke Melaka memang cukup hapal soal penyeberangan di selat itu.
Beberapa saat kemudian dua kapal penjemput datang dan kami harus menaikkan kopor dan bawaan kami ke salah satu dari keduanya menuju dermaga. Kepenatan selama dua jam lebih penyeberangan selat seolah-olah hilang begitu menginjak tepian dermaga untuk antre pemeriksaan di bagian imigrasi.
Tapi kami belum boleh bergembira menginjakkan kaki pertama di Malaysia. Antrean cukup panjang sembari menyaksikan wajah-wajah dingin para petugas imigrasi tak pelak lagi cukup melelahkan. Apalagi beberapa dari mereka berlaku agak kasar kepada para TKI. Boleh jadi kami cukup beruntung sebagai rombongan dari kalangan akademis. Tak ada perlakuan kasar kepada kami, meskipun kami baru diperbolehkan berlalu menuju hotel tempat kami menginap setelah berbagai prosedur yang cukup berbelit-belit.
Maka inilah Melaka, kota tua Malaysia yang disebut orang-orang jiran itu sebagai Bandaraya Melaka Bersejarah sejak dideklarasikan 5 April 1989. Dan tak termungkiri memang, Melaka dipercaya sebagai tempat bermulanya sejarah negeri Malaysia. Menariknya, kota itu dibangun oleh seorang pangeran pelarian dari ranah Sumatra bernama Parameswara.
Dari sang pangeranlah, Melaka menjadi Kota Bandar (istilah kita untuk kota pelabuhan yang agak berbeda maknanya bagi orang Malaysia yang menyebut kota sebagai Bandar-Red). Kesenaraian kota itu tercipta lewat aktivitas perdagangan orang-orang Tiongkok, India, Arab, dan Eropa karena kestrategisan selatnya sebagai jalur perdagangan lewat laut seperti sutra dan porselin dari Tiongkok, atau tekstil Gujarat dan Coromandel di India.
Setelah masa itu, Melaka menjadi ajang invasi kolonialis dari Eropa. Tahun 1511, ekspedisi laut pimpinan Alfoso d'Albuquerque dari Portugal menduduki wilayah itu. Lebih seabad berikutnya, pada tahun 1641 Melaka dikendalikan orang Belanda sebelum diserahkan ke Inggris 1795. Tahun 1818, kota itu diberikan kembali pada Belanda.
Barulah pada 20 Februari 1956, saat sentimen antikolonial merebak, Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj, Perdana Mentri pertama Malaysia memproklamasikan kemerdekaan Melaka di Padang Pahlawan, Bandar Hilir, Melaka.
Dari kenyataan itu, Melaka benar-benar menjadi kota yang bersejarah. Kota Tak heran apabila ada pameo yang menyebutkan bahwa mengunjungi kota lama Melaka seolah-olah berpesiar ke 600 tahun lalu.
Apa pasal? Berbagai relika dan monumen bersejarah masih utuh terpelihara dan bisa dinikmati pewisata. Itu juga sekaligus membuktikan keseriusan pengelola kota berluas 1.650 km persegi yang terbagi menjadi tiga kota administratif (Alor Gajah, Jasin, dan Central Melaka) dengan jumlah penduduk pada tahun 2001 sebesar 648.500 jiwa itu kukuh mempertahankan sejarahnya. Tak sekadar sebuah bualan, Melaka boleh dibilang sebuah kota yang dijaga para ''Dato'' (sebutan orang yang dihormati), yang dalam hal ini semua stakeholder kota, tentu saja beserta penduduknya.
Mau bukti? Bangunan paling tua di situ, benteng Portugis bernama A'Famosa yang dibangun tahun 1511 masih kukuh berdiri. Atau Gereja St Paul yang dibangun tahun 1521. Bangunan terakhir itu, betapa pun atap dan perangkat di dalamnya telah musnah, tapi jejak-jejaknya sebagai gereja katolik bersejarah masih terpacak di tempatnya.(Lihat tulisan Melempar Koin di Nosa Senhora)

***

JEJAK sejarah Melaka paling signifikan bisa Anda jumpai di pusat kota yang disebut Melaka Town. Datang ke situ, bermula dari Taman Bunga Merdeka Bandaraya Melaka, bisa jadi Anda merasa tengah berada di tengah-tengah sebuah ''museum'' yang sangat besar. Beragam bangunan tua yang sebagian besar memang disebut muzium segera terpampang di depan mata. Rasanya tak cukup hanya sehari-dua untuk menikmati semuanya.
Dan tentu saja, bekal ringgit (mata uang Malaysia) Anda haruslah cukup tebal. Sebab, selain hanya beberapa yang gratisan, Anda harus mengeluarkan beberapa ringgit untuk masuk ke bangunan-bangunan yang ada. Kalaupun sekadar berjalan-jalan semata atauberpusing-pusing, kaki Anda harus benar-benar fit. Betapa pun jarak antara bangunan yang satu dengan yang lainnya berdekatan, jumlahnya yang banyak dan berada di permukaan tanah yang naik-turun cukup melelahkan.
Bila tak ingin lelah, naik saja becak wisata yang mangkal di sekitar Stadhuys, kediaman resmi Gubernur Belanda yang dibangun tahun 1600. Tapi untuk sekali pusingan, 25 ringgit (sekitar Rp 57 ribu) harus direlakan buat sang pengemudi. Jumlah uang yang barangkali sepadan dengan pesona tambahan berupa kenyamanan menikmati tiap lekuk kota bersejarah itu. Apalagi, becak itu pun sangat unik dan menarik dengan pengayuh berada di samping. Sehingga, Anda bisa mengobrol dengan sang pengemudi dengan santai sembari (mungkin) memanfaatkannya sebagai pemandu.
Selain itu, becak itu pun berhiaskan bebungaan warna-warni yang mengimpresikan kesan sebuah kendaraan karnaval. Dan ketika berada di atas jok penumpang, masih ada hiburan tambahan berupa alunan lagu khas tanah Melayu dari loudspeaker kecil yang terpasang di bagian depan.
''Sungguh transportasi wisata yang sangat menarik. Andai gagasan becak wisata di Kota Lama Semarang terwujud...,'' ujar Djoko Setijowarno setelah sibuk memotreti beberapa becak yang berlaluan di depan gedung bertuliskan ''Kegemilangan Berulang Kembali''.
Dosen pengampu Manajemen Transportasi PMLP Unika Soegijapranata itu tidak sedang bermimpi. Seperti kami satu rombongan, dia memang bukan murni wisatawan, tapi wisatawan yang ingin ''mempelajari'' sesuatu lebih dari sekadar datang untuk tercengang takjub melihat pesona yang terpampang. Tapi tentu saja ucapannya cukup menarik. Bukankah sejak beberapa waktu lalu menguar gagasan menghidupkan Kota Lama Semarang yang gemanya hampir-hampir selalu fade-out?
Ah, becak itu hanya sekadar tambahan pesona. Masih begitu banyak bangunan dan area publik lain di Melaka Town yang menjadi daya tarik turistik. Lihat saja Muzium Rakyat, tempat yang berisikan sejarah perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial orang Melaka sejak kemerdekaan hingga abad ke-20. Atau Mausoleum Hang Jebat, sosok bersejarah Melaka yang terbunuh oleh keris Taming Sari milik Hang Tuah lewat sebuah duel heroik. Lihat pula kuil tertua Hindu di situ yang bernama Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi, atau kelenteng tertua yang dibangun tahun 1646 bernama Cheng Hoon Teng, dan masjid 600 tahun lalu bernama Tranquerah, selain tentu saja Masjid Kampung Kling yang gaya arsitektural Sumatra. Dan yang tak kalah penting dari sisi sejarah adalah Istana Sultan Melaka.
Begitu banyak tempat bersejarah yang bisa dikunjungi. Dan di tengah-tengah pusingan kami di Melaka Town, lagi-lagi muncul cetusan yang bernada antara gamang dan kesal. Lihat misalnya ketika beberapa dari rombongan kami menyaksikan Christ Church yang berdiri di antara Stadthyus dan Malaysia Youth Museum, ada yang mencetus, ''Mirip Gereja Blendoek, ya?''
Sebuah cetusan yang terdengar pongah, memang. Seolah-olah persepsi mengenai Kota Lama Semarang begitu mengharu-biru kami. Tapi kepongahan itu seolah-olah jadi logis ketika melihat arsitektural bangunan gereja yang dibangun tahun 1753. Kenapa? Seperti halnya Gereja Blendoek, Christ Church itu pun disebut sebagai bangunan dengan ciri arsitektural khas Belanda. Apalagi, kubahnya yang mbleduk secara sepintas terlihat serupa.
Persiaran atau wisata di Melaka Town tak lengkap kalau tak menyusuri Jonker Street. Jalan yang kini bernama Jalan Hang Jebat adalah ''surga'' bagi para pecinta benda antik. Beragam relika dan artifak berusia 300 tahun bisa ditemukan di situ, lengkap dengan sejarah dan misterinya. Tapi selayaknya benda kuno, kocek ringgit Anda harus sangat tebal untuk memperolehnya.
Wisata sejarah Melaka itu semakin dimanjakan di malam hari lewat ''Light and Sound Show'' di Dataran Pahlawan, Bandar Hilir. Proyek sajian sejarah lewat ''cahaya dan suara'' pada bangunan-bangunan bersejarah di Melaka itu merupakan yang pertama di Asia Tenggara. Proyek serupa ada di Piramida Mesir di Jalur Gaza, Acropolis di Athena Yunani, dan Red Fort di New Delhi, India. Menariknya, sejarah Melaka digelar lewat permainan cahaya lampu yang ditimpakan ke bangunan-bangunan di kawasan Melaka diiringi narasi kesejarahannya.
''Sangat menakjubkan seperti melihat pertunjukan teater sebuah kota. Rugi sekali yang tak menyaksikan,'' ujar Prof Budi Widianarko, Ketua Program, sepulang menyaksikan ''Light and Sound Show''. Meskipun diucapkan secara jenaka, itu cukup membuat kecewa lainnya yang tak sempat melihat atraksi yang hanya tersaji di malam hari itu. Apalagi, keesokan harinya, rombongan harus meluncur ke Kuala Lumpur dengan (tentu saja) kepala penuh jejak sejarah enam abad Melaka.(*)


Melempar Koin untuk Sang Paderi di Nosa Senhora

PADA sebuah tempat paling tinggi di kawasan Melaka Town, ada sebuah bangunan yang terlihat begitu kokoh dari bawah. Kekokohannya semakin kentara dengan latar depan sebuah monumen kecil tempat sesosok patung putih berdiri. Tapi, begitu dijemba setelah melewati beberapa jalan setapak yang berkelokan naik-turun, bangunan kokoh itu ternyata hanya sebuah gedung kuno tanpa atap.
Itu adalah Gereja St Paul. Pada catatan prasasti yang ada di depan kanopi gereja, tertulis bahwa gereja tertua di Melaka itu awalnya hanyalah sebuah kapel (tempat persembahyangan kecil) yang dibangun oleh Duarto Cuelho, seorang kapten kapal berkebangsaan Portugis pada tahun 1521 atau sepuluh tahun setelah Laksamana Alfonso d'Alberquerque membangun benteng A'Famosa sekaligus menduduki Melaka. Bangunan yang disebut terakhir itu terletak di tempat agak ke bawah tak begitu jauh dari gereja tersebut.
Mengapa Kapten Duarto Cuelho membangun kapel di atas bukit itu? Kapel itu adalah tanda syukur atas keselamatan diri dan awak kapalnya dari serangan musuh di bentangan Laut China Selatan. Pentahbisan kapelnya ditujukan kepada Bunda Maria sehingga tempatnya disebut Nosa Senhora atau ''Perawan Kami di atas Bukit''.
Uniknya, patung kokoh yang berdiri di depan gereja bukan sosok sang kapten melainkan Paderi Fraciscus Xaverius, tokoh gereja katolik pada zaman itu. Runtutan sejarahnya adalah bahwa kapel tersebut selalu menjadi tempat menginap sang paderi setiap kali melawat ke Melaka dari tahun 1545 hingga 1553. Bahkan meskipun orang suci itu meninggal di Pulau Sancian, dekat China, jenazahnya dikubur di bagian belakang kapel tersebut selama sembilan bulan sebelum dipindahkan ke Goa di India.
Bekas kuburan paderi itulah yang boleh jadi menjadi daya pemikat lain di luar sisi sejarah bangunan tua tersebut. Bagaimana? Di bagian belakang, bagian satu-satunya yang masih beratap, terdapat semacam lahat yang ditutup dengan pagar kawat berbentuk persegi-panjang. Lewat lubang-lubang kecilnya, pengunjung biasanya melempar uang koin satu ringgit atau pecahan sen. Tak heran, ''lahat'' itu penuh dengan serakan koin logam di setiap bagiannya.
Biasanya pelempar melemparkan koin sembari berharap sesuatu. Agak bernuansa mistik, meskipun kata Ze, satu dari tiga pemuda yang menggelar barang suvenir di situ, orang Malaysia tak percaya hal-hal seperti itu.
''Itu persemayaman seorang paderi. Awak bisa lihat patungnya di luar,'' kata Ze.
Ketika ditanya apakah orang di negaranya percaya hal-hal yang mistik, dengan tegas dia menjawab sembari melempar pertanyaan balik. ''Taklah. Orang Indonesia kabarnya pandai ilmu-ilmuan itu. Benar tak Cik, ada orang bisa terbang di sana?''
Sekadar pemanis obrolan singkat itu, saya jawab saja, ''Adalah. Tapi itu dulu zaman raja-raja.''
Tak ada reaksi apa pun dari Ze. Dia malah bercerita soal banyaknya orang Indonesia yang mengunjungi bangunan tempatnya berusaha itu. Tentu saja para wisatawan dari negara lain. ''Ujung pekan paling ramai orang ke mari.''
Orang Malaysia boleh saja tak percaya sesuatu yang berbau mistik seperti kata Ze. Tapi bukan berarti tak ada dari mereka yang berlalu begitu saja begitu sampai di bekas makam Franciscus Xaverius tanpa merogoh kantong dan melemparkan koin-koin sen mereka. Lihat saja, saya sempat melihat tiga pemudi dengan wajah bulat khas gadis Melayu dalam baju kurung dan kerudung, busana khas negerinya sibuk melempari koin sambil sesekali memejamkan mata. Meskipun ketika ditanya, salah seorang hanya menjawab, ''Ah ikutanlah, Cik! Tak nak ingin apa-apalah!''
Lepas dari itu semua, ritus melempar koin agaknya menjadi salah satu aktivitas persiaran di gereja itu selain menikmati sisa bangunan tua yang terlihat begitu terawat dan tampak masih kukuh.
Kembali ke bangunan tua tersebut, dari manakah asal nama Gereja St Paul? Pertanyaan yang lalu menguak betapa kejamnya sebuah perang. Dalam catatan sejarah, kapel yang dibangun Duarto Cuelho sebagai persembahyangan katolik milik orang Portugal itu diruntuhkan kolonialis lainnya dari Belanda.
Orang-orang Belanda yang berhasil mengalahkan orang Portugis meruntuhkan bangunan keagamaan itu dan di situ dibangun Gereja St Paul. Jejak-jejak kebelandaannya masih bisa dijumpai pada 14 prasasti besar dengan tulisan dalam bahasa Belanda yang menjadi simbol stasi atau perhentian dalam prosesi ritual Jalan Penyaliban dalam perayaan Paskah. Semua prasasti itu masih utuh dan dibiarkan bersandar di dinding-dinding bangunan.
Nama Gereja St Paul tentu saja menenggelamkan nama Nosa Senhora dan semua jejak orang Portugis selain pada bekas kuburan dan patung Paderi Franciscus Xaverius. Sayang sekali tak ada catatan mengenai siapakah yang membangun monumen dan patung tersebut. Tapi yang pasti, Nosa Senhora dan sang paderi katolik itu tetap diberi tempat dalam catatan sejarah orang Melaka.(*)


Suara Merdeka, 7 Maret 2004

Tidak ada komentar: