Kamis, 03 Juli 2008

''Kiutsukete, Mori-san''



TAHUN 2006, Parade Midosuji digelar Minggu (8 Oktober). Namun karena pada arak-arakan itu, tiap negara berhak menampilkan mobil hias, peserta harus sudah mengirim desain mobil hias jauh-jauh hari. Selain itu, untuk menghias pun membutuhkan beberapa hari pengerjaan. Alasannya tentu saja agar mobil yang ikut berparade terhias dengan sempurna.
Dua tahun sebelumnya, Indonesia yang diwakili Kabupaten Jembrana, Bali menampilkan mobil hias dengan replika sosok Rangda. Setelah absen tahun 2005, pada parade tahun 2006, Indonesia menampilkan mobil hias rumah adat Dayak dari Kabupaten Malinau, Kaltim. Tentu saja replika tersebut sejalan dengan tema yang diberikan panitia: kontribusi hutan hujan tropis Kalimantan untuk dunia.
Karena butuh beberapa hari untuk menyelesaikan mobil hias, kami dari Indonesia telah datang ke lokasi di sebuah lapangan terbuka dekat KTV Osaka pada tanggal 4 Oktober. Dari 23 rombongan yang mengikuti Asian Festival 2006 beberapa hari sebelumnya, 10 orang masih bertahan untuk ikut Midosuji Parade. Sementara rombongan dari Kabupaten Malinau (Kaltim) dan Banyuwangi baru tiba di Osaka tanggal 6 Oktober. Meski begitu, sisa orang yang ada cukup untuk membantu penyelesaian mobil hias. Sebab, panitia telah menyediakan beberapa pekerja Jepang yang bertugas menghias mobil itu sesuai desain yang telah kami kirim sebelumnya.
Nah, saat bekerja bersama-sama orang Jepang ini, saya beserta beberapa teman lain menjumpai sebentuk komunikasi yang cukup menarik.
Secara umum, karakter orang Jepang hampir seperti kita. Khususnya, dalam soal bagaimana mereka berinteraksi dengan orang asing. Meskipun memiliki disiplin ketat ketika bekerja, mereka bukan mesin yang tak bisa tertawa. Apalagi mereka juga orang-orang yang ramah.
Tak seorang pun dari kami bersepuluh bisa berbahasa Jepang selain ucapan arigato gozaimasu (terima kasih banyak) atau sumimasen (maaf, permisi). Sayangnya mereka pun banyak yang tak bisa bahasa Inggris, lebih-lebih lagi bahasa Indonesia. Jadi bisa Anda bayangkan bagaimana kami berkomunikasi selama menghias mobil itu.
Memang ada Aki Adishakti, staf Konsulat Jenderal RI di Osaka sebagai penyeranta komunikasi kami. Namun kalau setiap kali harus meminta ''sang penerjemah'' menjelaskan sesuatu, pekerjaan bisa berlarut-larut. Aki juga punya banyak urusan di Osaka sehingga tak selalu bisa menemani kami selama pengerjaan.
*
WALHASIL, ''bahasa Tarzan''-lah penyambung urusan di situ. Tapi inilah asyiknya. Selain ramah dan mau bekerja sama, beberapa pekerja Jepang itu juga bisa bercanda. Meskipun picu candaan itu hampir selalu bermula dari kami. Seorang dari kami yang banyak bicara dan sok pamer kosakata dari Aki selalu mengulang-ulang sebuah ungkapan kepada Mori-san, salah seorang pekerja.
Contohnya, ungkapan ''chotomate kudasai'' (tolong tunggu). Setiap kali Mori-san mengerjakan sesuatu, latah benar dia selau mengucapkan itu. Entah sebal atau mungkin jengah atau bahkan terganggu pekerjaannya mendengar kecerewetan itu, lelaki itu berujar dengan tertawa, ''Anata wa urusai desu.'' Tentu saja si cerewet dan kami yang buta bahasa Jepang hanya diam. Tapi Aki yang ada di sekitar itu tertawa lebar.
Apa pasal? Kata Aki itu artinya ''Kamu cerewet''. Tak pelak, kami tertawa.
Aki yang juga suka bercanda memberi tambahan kata: ''kurukurupa'' yang berarti ''stres dan hampir gila''. Itu modal bagus buat kami untuk ganti ''mencereweti'' si cerewet itu. Tapi dasar tak bisa diam, setelah itu pun dia berkali-kali dia mengucapkan kalimat itu kepada Mori-san sambil tangannya menunjuk ke salah seorang dari kami.
Adakalanya candaan itu berasal dari perbedaan persepsi kultural di antara kami. Ketika mendapat kata kiutsukete yang berarti ''hati-hati'', teman yang tadi masih selalu saja pamer pada lelaki Jepang itu. Sudah berkali-kali pula lelaki itu ber-arigato-arigato. Namun pada suatu momen saat dia harus memaku untuk menggantung topi hias sembari menaiki tangga, kalimat tadi keluar lagi dari mulut teman itu. Sontak beberapa pekerja lain tertawa lebar sembari menirukan ucapan, ''Kiutsukete, Mori-san.''
Dengan wajah pongah, si cerewet itu menghambur ke penerjemahnya untuk mencari tahu mengapa mereka tertawa. Nah, itulah yang saya sebut adanya persepsi kultural yang berbeda. Bagi mereka memaku di mobil hias yang tak tinggi itu bukan sesuatu yang patut dicemaskan sehingga perlu disarankan agar seseorang harus ekstra hati-hati. Padahal di luar alasan bahwa dia bak beo yang lagi belajar sebuah kata, tentu saja dia bermaksud memberi perhatian sebagai tanda persahabatan.
Di luar itu semua, saya yakin antara kami dan orang Jepang yang bekerja menghias mobil itu pasti terjalin proses saling belajar meskipun cuma sebentar. Yang lebih pasti, kami bisa bekerja sama tanpa ada praduga siapa di antara kami yang superior dan siapa pula yang inferior. Dan itu bisa dibangun lewat sebuah candaan.(*)

Sebatang Rokok untuk Sebuah Keramahan



DI Beijing Capital International Airport 18 Juni 2005, sembari menunggu pesawat ke Nanjing, saya masuk ke kabin untuk perokok. Sudah banyak orang di situ, lagi asyik mengisap rokok. Dari wajah dan bahasa yang mereka pakai untuk bercakap-cakap, pastilah mereka orang China. Tak ada yang istimewa memang selain asap dan obrolan cepat dengan selingan tawa.
Pada satu bagian, empat orang duduk memutari satu meja. Seseorang mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil isinya dan membagi-bagikannya pada yang lain. Saya menganggap hal itu sangat biasa. Sebab, kita pun punya kebiasaan berbagi rokok.
Ketika di Nanjing, barulah saya tahu, membagi rokok adalah medium sopan santun sekaligus sinyal untuk jalinan komunikasi yang lebih akrab.
Begini ceritanya. Dao Xian, sopir yang mengantar perjalanan liputan saya di Nanjing mendadak mengeluarkan dua batang rokok dari bungkusnya dan menyodori saya sebatang ketika menunggu pesanan makan siang kami tiba. Saya berusaha menolak karena saya pikir itu semata basa-basi seperti umumnya dilakukan di Indonesia. Lagi pula, saya punya rokok sendiri. Tapi Gao Qin, penerjemah yang menemani perjalanan liputan saya, segera menyergah. Dia meminta saya untuk menerimanya.
''Itu tanda keakraban. Kau tahu, di China, kalau seseorang telah melakukan hal sama dalam beberapa saat, membagi rokok adalah keharusan. Apalagi dia tahu kamu merokok. Itu etiket kami,'' ujar gadis yang memiliki panggilan Inggris Meggy tersebut.Saya tertawa dan buru-buru menerima rokok yang disodorkan Dao Xian sembari berucap, ''Xiexie.''
Jadi sebatang rokok adalah juga sebuah salam pertemanan, atau sekadar sopan santun, bahkan kepada orang yang sama sekali tak diketahui namanya. Pengalaman lain membuktikan hal tersebut.
Di Kunyang Town selepas kunjungan ke Zheng He Guoyuan (Taman Cheng Ho), bersama banyak orang saya menunggu bus yang akan membawa kami ke Kota Kunming. Pintu bus memang baru dibuka sesaat sebelum jam pemberangkatan. Maka, para penumpang harus duduk dulu di kursi-kursi yang berada di halte tunggu. Saya mengambil tempat duduk agak jauh dari para penumpang lain. Hanya seorang lelaki muda yang berada di samping saya. Saya bertanya padanya apakah dia bisa berbahasa Inggris. Ketika dia menggeleng, maka dengan bahasa isyarat saya menunjuk bus yang terparkir untuk memastikan apakah bus itu yang akan ke Kunming. Dia mengangguk.
Pada saat dia hendak merokok yang kali kedua, dua batang rokok disodorkan pada saya. Saya tersenyum sembari menerima sebatang. Sebagai balasan, saya menyalakan rokoknya. Hanya begitu sebab kami tak lagi bercakap-cakap karena persoalan bahasa. Tapi sebatang rokok itu sangat berarti bagi orang asing di tempat asing seperti saya. Selanjutnya, kebiasaan saling membagi rokok memang saya jumpai di banyak tempat di China. (*)